Rabu, 07 Maret 2012

Negeri 5 Menara (2012) - MAN JADDA WAJADA

Genre : Drama + Education
Score : 4/5

Alif Fikri sedang berada pada fase galau di mana dia sedang menghadapi problema yang dilematis. Cita-citanya untuk kuliah di ITB, Bandung, harus tertahan dengan keinginan luhur amaknya yang justru menginginkan Alif melanjutkan pendidikannya di sekolah berbasis Agama, di Pondok Madani.

Mencoba membujuk hati, Alif pun rela mengubur cita-citanya menjadi ahli pesawat seperti Habibie, bersama Ayahnya diapun berangkat ke tanah Jawa, Ponorogo, di mana pondok pesantren itu berada. Ternyata Kehidupan pesantren justru membuatnya menemukan makna hidup yang lain. Sistem pendidikan yang lain dari biasanya, mampu menempa para santri menjadi orang yang selalu gigih dalam berjuang meraih cita-cita. Man Jadda Wajada adalah semboyan pertama yang didapat lewat Ustadz Iskandar dengan cara yang mengesankan. Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses.

Selain itu, di Pondok Madani Alif bertemu dengan sahabat-sahabat baru yang luar biasa. Atang (Bandung), Baso (Gowa), Dulmajid (Medan), Raja (Medan) dan Said (Surabaya). Mereka kemudian dikenal sebagai Sahibul Menara, karena kebiasaan mereka nongkrong di bawah menara sambil menunggu waktu sholat tiba. Di bawah menara masjid itulah, mereka mencetuskan cita-cita yang tinggi.


***

Kaget dengan skor yang ada di atas? Yes, saya juga ga pernah nyangka bisa memberi skor 4/5 dengan film yang diangkat dari novel berjudul sama, Negeri 5 Menara. Entah kenapa, saya sudah langsung terikat secara emosional dengan film ini ketika di awal cerita menggambarkan Kehidupan Alif Fikri dan orangtuanya. Aih, saya langsung ingat ortu di kampung :'(

Lupakan gelang emas, lulu tobing yang dipamer secara jelas di salah satu adegan. Atau dialek padang Lulu Tobing yang (sedikit) terdengar kaku, atau penampakan orang tua Fikri yang terlihat terlalu muda. Saya ga terlalu me-notice itu. Saya justru lebih merasakan bagaimana sentuhan kasih sayang orangtua terhadap anaknya di sini. Really, saya berulang kali menghela nafas, di adegan-adegan pembuka film ini, termasuk ketika Ayahnya memberikan lambaian selamat tinggal sambil memperagakan gerakan jabat tangan dari jauh ke Fikri, itu luar biasa menohok saya. Saya pernah merasakan fase itu. Dan saya yakin yang pernah mengalami hal serupa pasti bisa merasakan bagaimana rasanya berpisah jauh dengan orangtua. Saat itu saya bisa melihat sosok bapak saya dengan jelas di sana. :')


Setelah melow dengan adegan pembuka, tiba-tiba penonton dibelokkan dengan suasana yang berbeda. Peralihan yang enak dan tidak over. Masa-masa para sahibul menara itu menjalani hidupnya di pondok sungguh menyenangkan. Saya bisa ikut tertawa dengan semua kejadian-kejadian yang dialami. Satu poin plus buat para pemain-pemain sahibul menara itu. Chemistry mereka dapat banget. Mereka berenam, tidak ada yang menonjol. Pun Alif Fikri sebagai bintang utama justru terlihat sama porsinya dengan yang lain. Di satu saat, Baso yang terlihat sangat mencuri scene dan di adegan lain justru Atang atau Said yang terlihat menonjol. Saya suka ini. Dan sebagai pemain baru, Mereka bisa tampil natural dan tidak terlalu kaku. Great job!


Mungkin yang agak sedikit menganggu buat saya adalah aksen Makassar yang ditampilkan Baso. Ga Makassar banget. Yang mengerti logat Makassar pasti tau, kalo kata 'mi' dan 'to' yang sering diucapkan Baso itu sering salah penempatan, termasuk salah intonasi dialek, terdengar terlalu dipaksakan. Tapi jujur, salah satu pewarna yang sangat berhasil dalam film ini adalah Baso. U rock kiddo!!!

Oia, pementasan mereka mulai dari persiapan sampai tampil di atas panggung itu lebih berasa. Tidak hanya semangat mereka yang menggebu-gebu tapi juga lucu. Bandingkan dengan adegan teaterikal, Ikal dkk di film Laskar Pemimpi yang justru tidak berkesan, padahal di bukunya itu adalah momen-momen yang seru.

Dan salah satu adegan favorit saya adalah ketika Baso akhirnya harus pulang. Baso yang sebenarnya yang paling pintar, punya mimpi paling tinggi dan selalu jadi motivator di antara mereka, justru harus rela pergi terlebih dahulu. Aduhhh, sedih banget. Adegan perpisahan itu sangat singkat dibandingkan novelnya, tapi tetap berasa paling memorable. Sekali lagi chemistry mereka sangat bagus di momen itu. Jempols!!!

Pemain pendukung lainnya juga cukup oke. Bahkan Si Andika menurutku terlihat menonjol dengan perannya sebagai Fahmi, Pimred jurnalis Alif di Pondok Madani. Yang agak mengecewakan adalah Kyai H. Rais, pemimpin pondok yang diperankan Ikang Fawzi. He's a good actor, basically, tapi dikepala saya, sosok pak Kyai Rais ga semuda itu. Yah aturan level-level Deddy Mizwar lah. Ikang Fawzi aktingnya bagus, cuma ga greget aja dengan karakter yang dimainkan. Feelnya kurang. Oia, yang sangat distract adalah penampilan isteri pak kyai (itu ines tagor ya?). Masa isteri pak Kyai tampil dengan jilbab kek asal pasang gitu ditambah baju lengan 3/4 lagi. Aduhhh piye toh!? Padahal anak dan ponakan Pak Kyai bisa tampil lebih tertutup, elegan dan manis. Satu lagi, kok Randainya gitu ya? Bukannya di novelnya digambarkan terlihat lebih ganteng dibanding Alif ya? Hahaha... lupakan!


Terakhir saya mau bahas masalah endingnya. Banyak review yang menyayangkan endingnya. Pas nonton sendiri, saya langsung nyeletuk, loh apanya yang salah? emang di novelnya kan endingnya begitu. Di novel memang memperlihatkan mereka bertemu di Eropa setelah beberapa tahun kemudian. Dan thank God, adegannya bukan setting fake seperti yang pernah ditampilkan film Sang Pemimpi di akhir cerita.

Jadi, film ini sangat saya rekomendasikan untuk ditonton sekeluarga. Ajak saudara, putra-putri, atau orangtua kalian untuk nonton bersama. Tanamkan semangat film ini dalam diri masing-masing. Bukan tajamnya tapi Kesungguhan hati lah yang bisa membuahkan hasil yang sempurna!

Selamat buat pengarangnya, Ahmad Fuadi, yang sudah mau berbagi motivasi untuk kita semua. Jika ada orang yang harus diucapkan terima kasih, please give my best regard for your mother! Salah satu tujuan ibu anda sudah tercapai. Memberikan manfaat untuk orang lain.


2 komentar:

risa mengatakan...

kalo ancha yang bilang saya percaya deh! sampe kapan ini film di putar di bioskop ya?

Kacamata mengatakan...

Ndak taumi. Yang jelas, film ini tayang sejak 1 maret 2012. Jadi kalo sampai minggu ini masih tayang, berarti sudah 3 mingguan lebih :)
Ayolah menonton, setidaknya bisa menjadi masukan utk orgtua bgm menanamkan motivasi ke anak2